Judul: Susan Boyle, Living The Dream, Biografi Penyanyi Inggris yang Fenomenal
Penulis: John McShane
Penerbit: Metagraf, Creative Imprint Tiga Serangkai
Tahun: 2011
Halaman: 285 + 5 hal tanpa nomor
Peresensi: Ardiningtiyas Pitaloka
McShane, penulis buku biografi penyanyi fenomenal Inggris, Susan Boyle, mengajak kita untuk menikmati proses nobody menjadi somebody. Menjadi seseorang dalam dunia global yang bergerak dalam kecepatan cahaya sekaligus tuntutan budaya pop tentang penampilan sempurna publik figur.
Ketika pertama kali menemukan aksi Susan Boyle di reality show Britain’s Got Talent (BGT) di dunia maya, saya sangat tercengang. Meskipun telah membaca ulasan dan mendengar suara emasnya, tetap saja penampilannya memukau. Lebih tepatnya, ekspresi para juri, gumaman penonton dan langkah kaki wanita paruh baya yang sangat sederhana namun tampak tanpa beban saat itu sangat mencekat, hingga sekian detik kemudian saya sadari saya menangis saat mendengar suaranya yang ..tak terkatakan.
Anda akan menemukan aksi melow seperti ini bertebaran di buku McShane. Sebuah sihir manusiawi yang menyentuh dan menggetarkan.
“Susan mungkin memiliki ‘Suara Malaikat’, namun akan sangat naif atau tidak akurat untuk mendedikasikan ketenaran Susan hanya pada itu. Penampilan Susan juga memikat dunia. Kekontrasan antara sebuah suara yang begitu manis dan murni dengan penampilan yang membuatnya dijuluki dengan kejam sebagai ‘Monster Berbulu’ terlihat sangat besar. Sungguh munafik untuk berpura-pura bahwa jurang pemisah antara kedua hal ini bukanlah faktor ini-jika bukan unsur utama-dalam ketertarikan yang Susan timbulkan.” (hal.81)
Tidak hanya mengulas kekejaman dunia terhadap penampilan Susan, McShane juga menghadirkan sisi lain dari dunia gemerlap ini, yakni penonton yang juga mendapatkan kecaman dunia karena tersorot kamera. Ia disebut sebagai ‘Gadis 1:24’ karena muncul satu setengah menit setelah klip berlangsung. Jennifer Byrne, 18 tahun yang bekerja sebagai penata rambut menunjukkan ekspresi negatif. Reaksi tidak pantas jelas mendominasi ketika Susan Boyle melangkahkan kaki memasuki panggung, termasuk dari para juri. Susan Boyle pun membelanya, ‘Jangan ganggu gadis malang itu,’ ucap Susan. Dia bereaksi sama seperti para juri dan juga semua orang di teater itu; dia tak perlu menerima semua perlakuan ini. (hal.106).
Penulis menggambarkan tekanan yang dialami Susan begitu dinamis. Ia tampaknya mampu menikmati semua sorot lampu yang berwarna-warni, hingga kemudian kenyataan pahit datang: Diversity (finalis BGT) keluar sebagai juara, bukan Susan. Secara jelas, ia dikabarkan berteriak-teriak di belakang panggung, ‘Aku benci acara ini. Aku benci.’ (hal.193).
Bagaimana kemudian Susan membuat album, mungkin tidak terlalu mengagetkan. Tetapi, Simon Cowell secara lugas mengajukan syarat ‘Jika kau masih ingin melakukan hal itu, aku akan membantumu-namun hanya jika kau berjanji untuk tidak memaksakan diri.’ (hal/229).
Membaca buku ini seperti mendengarkan seseorang yang bercerita tentang perjalanan kariernya. Hanya saja, penerbit perlu mengkaji ulang penulisan yang merupakan penerjemahan buku asing agar lebih mengalir. Banyak hal menggelitik dalam buku ini yang layak untuk disimak, di antaranya Susan Boyle tidak turun dari langit dengan suara malaikat, melainkan telah ‘merintis’ suara emasnya sejak lama. Ia juga berangkat dari satu tujuan yang dapat menjadi motivasi kariernya yakni mempersembahkan untuk mendiang ibunya. Setelah kepergian sang ibu yang sangat meyakini ia dapat menjadi penyanyi terkenal yang sukses, Susan mengalami masa duka 2 tahun, hingga akhirnya memutuskan untuk menjadi seperti saat ini.
Susan mewujudkan mimpi dan tak membiarkannya terbunuh seperti dalam lirik lagu I Dreamed a Dream yang ia alunkan: “I had a dream my life would be, So different form this hell I’m living, So different now from what it seemed, Now life has killed the dream I dreamed…”