Profil Karir: dr. Rifai Latief, Sp.D.
Profesi dokter adalah profesi yang membanggakan dan masih menjadi pilihan cita-cita banyak orang. Dalam survey yang dilakukan belum lama ini oleh konsultankarir.com, profesi dokter menempati urutan pertama dari profesi pilihan di tahun 2009. Demikian juga dalam polling yang dilakukan Metro TV yang ditayangkan dalam acara Metro 10 tanggal 2 Agustus 2009 bekerjasama dengan konsultankarir.com sebagai narasumber, profesi dokter menempati peringkat pertama untuk sepuluh profesi paling bergengsi diikuti profesi guru, pengusaha, pengacara, presiden, PNS, dosen, wiraswasta, tentara, dan terakhir hakim.
Karena itu profil karir kali ini menampilkan sosok seorang dokter, dr. Rifai Latief. Dokter yang ahli penyakit dalam ini, akrab dipanggil dr. Rifai, telah menjalani profesi ini lebih dari tigapuluh tahun dan yang menarik, ia memilih mengabdikan ilmunya di pelosok daerah, tepatnya di kabupaten Bulukumba, +/- 153 km atau kurang lebih 2.5 jam perjalanan dari Makasar. Pilihan ini sesuai dengan cita-citanya semenjak kecil dulu, yakni mengabdi sebagai dokter di kota kelahirannya. Walaupun tawaran kerja di kota Makassar dan Jakarta lumayan banyak, tetapi tawaran tersebut ditampiknya. Padahal jika dipikirkan, penghasilan yang tidak sedikit dan peluang sukses yang lebih besar jika ia berkarir di Jakarta. Namun itulah yang menarik dari dokter yang gemar membaca ini, idealismenya patut mendapat acungan jempol.
Keinginannya menjadi dokter pada waktu itu dilandasi pemikiran bahwa Bulukumba belum mempunyai dokter, padahal orang sakit tidak bisa memilih waktu dan tempat untuk sakit. Jadi dengan niat membantu kesembuhan orang-orang sakit di tanah kelahirannya, jadilah ia menjalani kuliah di fakultas kedokteran Universitas Hasanuddin di tahun 1967 dan lulus tahun 1977. Menurutnya dengan niat baik, Tuhan akan membantu seseorang meraih cita-cita dan mendapatkan yang terbaik. Mungkin niat baik itu juga yang menjadikannya seorang dokter, padahal seorang temannya yang jauh lebih pintar darinya tidak lulus saat sama-sama menjalani tes masuk fakultas kedokteran.
Sepuluh tahun ia menjalani kuliah kedokteran, di masa itu sepuluh tahun termasuk cepat karena rata-rata mahasiswa membutuhkan empatbelas tahun untuk lulus sebagai dokter. Berbeda dengan sekarang, pendidikan dokter dapat dijalani dalam waktu lima atau enam tahun, hal yang mustahil dilakukan saat itu.
Menurutnya untuk kuliah di fakultas kedokteran, bukan otak genius atau kecerdasan di atas rata-rata yang dibutuhkan, melainkan sifat rajin dan tekun karena buku dan materi yang harus dibaca dan dipelajari sangat banyak. Tekun belajar adalah modal utama untuk kuliah di kedokteran. Di masa ia kuliah dulu, belum ada fotokopi, jadi hadir kuliah di pagi hari dan duduk di depan mencatat kuliah merupakan salah satu trik yang dilakukannya untuk bisa lulus lebih cepat. Mungkin trik ini masih berlaku untuk diterapkan bagi semua mahasiswa untuk dapat lulus lebih cepat.
Setelah lulus ia menjalani penempatan pertamanya di Kalimantan Tengah, tepatnya di kabupaten Gunung Mas. Desa yang ditinggalinya butuh 2 hari perjalanan naik klotok, semacam perahu kayu karena tidak bisa melalui jalan darat. Kadang-kadang ia harus menginap di pinggir sungai, untuk menghindari arus sungai yang sedang liar. Tugas ini dijalaninya hingga tahun 1982. Lima tahun berada di kalimantan merupakan pengalaman yang penuh tantangan, termasuk tersasar di arus sungai dan hampir hanyut terbawa banjir, itulah salah satu suka duka yang dialami dokter yang selalu sabar dalam menangani pasiennya ini. Menurutnya inilah salah satu bentuk pengabdian seorang dokter yang harus dijalani.
Tahun 1982, dokter yang senang nonton film perang ini memutuskan untuk menjadi dokter spesialis penyakit dalam. Lulus dari spesialis dokter di tahun 1990, ia ditempatkan di Sulawesi Utara, tepatnya di RS Tondano, dan berpraktek selama 5 tahun. Keputusan menjadi dokter spesialis penyakit dalam berkaitan dengan penyakit yang diderita ayahnya. Di tahun 60an, di Bulukumba belum ada dokter penyakit dalam (diabetes) yang mampu mengobati penyakit ayahnya, sehingga sang Ayah harus dikirim ke Makassar untuk berobat. Perjalanan yang cukup lama ke Makasar menyebabkan penyakit sang Ayah bertambah parah dan mengakibatkan kakinya harus dipotong. Karena itu ia berharap dengan menjadi dokter spesialis penyakit dalam, dapat membantu orang-orang yang mengidap penyakit dalam dapat terhindar dari akibat yang lebih parah.
Tahun 1995, ia pindah ke Bulukumba untuk menjalani praktek dokter penyakit dalam di rumah sakit, waktu itu di Bulukumba belum ada dokter spesialis penyakit dalam. Hingga kini, ia sudah berpraktek sebagai dokter spesialis penyakit dalam di Rumah Sakit Umum Andi Sultan Daeng Raja, Bulukumba selama hampir lima belas tahun, pasiennya di RS.
Selain menjadi ketua kompartemen medik di rumah sakit, ia juga membuka praktek dokter di rumahnya. Klinik dr. Rifai tidak pernah sepi, selalu ramai dikunjungi pasien. Dokter yang pendiam, namun ramah ini mempunyai kiat khusus dalam menghadapi pasiennya, yakni selalu berupaya untuk menjawab semua pertanyaan pasien, ‘sedangkal’ apapun pertanyaan tersebut. Menurutnya inilah yang membedakan seorang dokter dengan dokter lainnya untuk disegani pasien. Pasien berhak tahu masalah kesehatan yang dihadapinya, karena itu dokter tidak boleh malas-malasan menjawab pertanyaan pasien, sebaliknya dokter wajib menjawab pertanyaan pasien. Ia selalu berupaya meluangkan waktu menjawab pertanyaan-pertanyaan pasiennya, walau sedang selelah apapun.
Menurutnya masyarakat sekarang semakin pintar dan teknologi juga berkembang pesat, masyarakat dapat mengetahui obat apa yang diresepkan dokter melalui internet dan menggunakan internet juga untuk mendapatkan support, seperti kejadian yang pernah dialami Prita. Jadi ke depan tantangan profesi ini akan semakin berat, namun disisi lain profesi dokter juga dilandasi kode etik yang wajib dijalankan seorang dokter.
Menghadapi pasien di pelosok tentunya berbeda dengan pasien di kota besar, ada kalanya teknik pemeriksaan dokter dianggap ‘menyiksa’, seperti pengalaman yang pernah dihadapi dokter yang berkumis tebal ini. Saat itu ia sedang memeriksa paru-paru pasien dengan mengetok-ngetok bagian punggung si pasien, anak si pasien protes kenapa sang ayah dipukul-pukul, namun dengan penjelasan akhirnya si anak mengerti juga. Menurutnya, itulah salah satu kendala yang dihadapi oleh dokter-dokter yang berpraktek di pelosok, karena itu penting sekali bagi dokter-dokter muda untuk memahami budaya dan kebiasaan orang-orang di wilayah dimana si dokter ditempatkan agar dapat diterima dengan mudah di lingkungan tersebut.
Selain itu, problem lain yang sering dihadapinya sebagai dokter adalah harapan pasien yang kadang tidak realistis untuk sembuh apabila sudah berobat ke dokter. Dokter juga manusia –meminjam istilah iklan yang sering muncul di TV– keinginan membantu pasien sembuh tentunya juga harapan seorang dokter, namun bagaimanapun kesembuhan itu bukan hanya dari keahlian dokter semata, namun banyak faktor-faktor lain juga yang berpengaruh, termasuk faktor pasien sendiri, keluarga, dan faktor Yang Di Atas. Apalagi jika penyakit yang dihadapi sudah dalam stadium akhir. Jadi disini, ia berupaya untuk memberikan penjelasan yang logis melalui pendekatan humanis.
Cita-cita dokter Rifai menolong orang-orang sakit di tanah kelahirannya telah tercapai, kini ia masih setia menjalani profesi dokter dengan sepenuh hati dan terus mengobati pasien-pasiennya. Profesi dokter memang tidak terpengaruh usia, sebaliknya semakin tinggi jam terbangnya, semakin diakui keahliannya.
Dokter yang sangat menjiwai profesinya ini memberikan masukan untuk para dokter muda agar menjalani profesi ini dengan sepenuh hati mengingat profesi dokter adalah profesi yang luhur, selalu meng-update ilmu karena perkembangan dunia kedokteran sangat dinamis sesuai perkembangan zaman, dan yang terakhir jangan meng-komersialisasikan pasien.
Karenanya penting untuk menjalani profesi ini dengan niat ibadah. Inilah filosofi hidup yang dipegangnya dalam menjalani profesi dokter sehingga membentuknya menjadi dokter yang penuh pengabdian. Ditambah dengan niat baik menolong orang dan keyakinan bahwa Tuhan akan menolong orang yang memiliki niat baik, maka segala tantangan berat sebagai seorang dokter dapat diatasi.
Sepertinya filosofi ini tidak hanya berlaku bagi profesi dokter semata, tetapi berlaku juga bagi profesi-profesi lainnya. Indonesia sangat membutuhkan pribadi-pribadi seperti dokter Rifai yang tidak hanya menerapkan ilmu yang dimilikinya dengan sepenuh hati, tetapi juga mau menyumbangkannya untuk masyarakat di pelosok negeri. (AA)
salut buat dr.rifai….. memang dia dokter yang penuh pengabdian dengan idelisme yang tinggi… moga aja selalu tetap eksis dan diberi kesehatan dimasa pensiunnya saat ini.
resume ini bisa menjadi inspirasi saya dalam melaksanakan tugas sebagai tenaga kesehatan.