Wednesday, December 11, 2024
HomePerspectiveArtikelWork is about human being, not machine

Work is about human being, not machine

“Kalau pagi memang suka begini Bu,” ujar seorang kasir di waralaba yang bangga mengiklankan sajian menu sarapan paling pagi. Ia kembali mencoba menggesekkan kartu debet untuk ke sekian kalinya, setelah saya tolak memberikan uang cash. Kalimat ‘kalau pagi suka begini’ pun terlontar dengan wajah antara kesal dan memelas, tapi terus mencoba karena saya tidak bergeming.  

Mungkin adegan kecil ini pernah Anda alami dalam setting yang berbeda atau justru sama. Seperti juga pernah saya temui ketika berlibur bersama keluarga di satu daerah di Jawa Tengah yang terkenal dengan menu kepiting super lezat. Karena baru pertama kalinya akan menjajal kuliner di tempat itu, maka cita-cita makan siang pukul 12 tepat bergeser dua jam karena sempat salah jalan. Senyum kami yang mengembang karena berhasil menemukan tempat kuliner sekejap hilang ketika mengetahui menu andalan telah habis, dan hampir menjadi omelan panjang ketika salah seorang pelayan berkata,“Ibu datangnya kesiangan sih, kalau tadi pagi masih ada..”

Kesiangan? Lalu mengapa tertulis di depan buka sampai petang? Begitu pun dengan waralaba dengan sistem pembayaran kartu debet, ‘kalau pagi suka ngadat, jadi datanglah siang saja’ begitukah?

Coba kita ubah kalimat tersebut menjadi: “Maaf Bu, sepertinya sedang bermasalah koneksinya pagi ini, mungkin lima menit lagi, silahkan ibu menikmati sarapan terlebih dahulu,” yang kemudian jika masih bermasalah, ia bisa mengatakan, “Maaf Bu, sepertinya tidak bisa terkoneksi, bagaimana kalau dengan uang cash?” dan “Mohon maaf Bu, kebetulan menu itu sudah habis, mungkin karena sedang musim liburan, bagaimana jika mencoba menu lain yang tak kalah lezat?”

Bukankah saya/kami sebagai konsumen akan semakin terkagum karena kelezatan menu tersebut, dan bertekad untuk datang lebih pagi keesokan harinya atau lain hari? Saya pun akan memaklumi gangguan koneksi pagi itu di waralaba, yang ternyata berhasil setelah dicoba berkali-kali, dan salah seorang rekannya mengingatkan satu kabel yang belum terpasang!

Mesin ‘tercanggih’

Masalah bisa terjadi kapan pun, di mesin dan sistem yang tercanggih sekalipun, namun manusia sesungguhnya ‘mesin’ yang lebih canggih. Mesin yang bisa mencairkan kebekuan sistem, mengembalikan senyum yang porak-poranda oleh kekacauan prosedur, kita memiliki satu sistem yang mampu menghangatkan itu semua: empati.

Empati adalah mampu memahami dan merasakan apa yang dirasakan dan dialami orang lain. Memberikan pelayanan lebih, bukan berarti memamerkan kemutakhiran teknologi dan gemerlapnya, tetapi menyentuh hati. Lihatlah keberhasilan film-film kartun Disney, bukan hanya karena keindahan dan kecanggihan teknologinya melainkan cara penyampaian cerita yang menyentuh hati penonton, tidak sekedar melucu atau berusaha membuat penonton tertawa tapi mengalir dalam tawa, kesal, sedih…seperti halnya kehidupan itu sendiri.

Untuk mendapatkan empati orang lain, kita perlu menunjukkan usaha sungguh-sungguh, tanpa berpikir untuk mendapatkan empati itu sendiri. Andai kasir itu tetap mencoba menggesekkan kartu, lalu memeriksa mesin (memastikan kabel/lainnya), kemudian menelpon manajer/pihak lain, konsumen pun akan melihat usaha serius yang dilakukan, sebelum akhirnya ‘menyerah’ meminta ‘bantuan’ konsumen untuk membayar dengan sistem lain. Kurangnya usaha ini juga sering terjadi di lingkungan kerja perkantoran. Biasanya mereka adalah orang-orang yang dengan cepat menyalahkan sekitar, mulai dari atasan, rekan kerja sampai pesawat telepon yang tergeletak di meja.

Empati memang tidak semudah simpati, namun bukan hal yang super sulit jika kita mau menyentuh apa yang kita kerjakan dengan hati, bukan mesin. Hal ini bisa kita mulai dengan mencintai apa yang kita kerjakan, sehingga tidak terjebak dalam interaksi transaksional semata. Proses kerja bukanlah interaksi antar sistem, mesin dan prosedur, melainkan interaksi antar manusia dengan komitmen dan hati.

gambar: www.mactoons.com

Previous article
Next article
Tyas
Tyas
Career Coach & HR Consultant - "Mind is Magic"
RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments

konsultankarir on Pilihan, Memilih or Stuck
konsultankarir on Bingung S2
konsultankarir on Karir Untuk Lulusan Sosiologi
konsultankarir on Memilih Jurusan S2 yang Tepat
konsultankarir on Gagal tes psikotest
konsultankarir on Memilih Jurusan S2?!
konsultankarir on Karir Untuk Lulusan Sosiologi
konsultankarir on Sulit mendapatkan pekerjaan
konsultankarir on Wawancara dan Psikotest
konsultankarir on Kuis:Career Engager
konsultankarir on Memilih Jurusan S2?!
konsultankarir on Memilih Jurusan S2?!
konsultankarir on Memilih Jurusan S2?!
konsultankarir on Selalu Gagal dalam Interview
konsultankarir on Interview Magic
konsultankarir on Pindah Tempat Kerja
konsultankarir on Karir Untuk Lulusan Sosiologi
konsultankarir on Memilih Jurusan S2?!
konsultankarir on Memilih Jurusan S2?!
konsultankarir on Memilih Jurusan S2?!
konsultankarir on Karir Untuk Lulusan Sosiologi
konsultankarir on Psikotes Menggambar
konsultankarir on Memilih Jurusan S2 yang Tepat
konsultankarir on Memilih Jurusan S2 yang Tepat
konsultankarir on Bingung S2
konsultankarir on Karir Untuk Lulusan Sosiologi
konsultankarir on Memilih Jurusan S2?!
Angelina Tria Puspita Rini on Memilih Jurusan S2?!
Lisa on Bingung S2
Fiviiya on Psikotes Menggambar
Wendi Dinapis on Memilih Jurusan S2?!
hasenzah on Memilih Jurusan S2?!
yulida hikmah harahap on Karir Untuk Lulusan Sosiologi
Galuh Rekyan Andini on Memilih Jurusan S2?!
burhanuddin on Memilih Jurusan S2?!
Dian Camellyna on Kuis:Career Engager
ABDUL RAHMAN on Wawancara dan Psikotest
Melva Ronauli Pasaribu on S1 Teknik Informatika S2 Bagusnya Apa?
Faradillah Rachmadani M.Nur on Memilih Jurusan S2?!
Taufik Halim on Memulai Bisnis Fotografi
Edo on Bingung S2
konsultankarir on Profesi yang sesuai
konsultankarir on Bingung S2
yaya on Bingung S2
konsultankarir on Memilih karir
dewi on Pindah kerja
konsultankarir on Memilih Jurusan S2 yang Tepat
dewi on Pindah kerja
Tyas on ILKOM atau MTI
hary on ILKOM atau MTI
Kiki Widia Martha on Buku ‘My Passion, My Career’
jalil abdul aziz on Karir Untuk Lulusan Sosiologi
Nono Suharnowo on Bagaimana agar produktif?
syukri on Jujur atau tidak?
Nida shofiya on Bingung pilih fakultas
abdul madjid on Gagal tes psikotest
abdul madjid on Gagal tes psikotest
Aris on Tujuan karir
NURANI on Tujuan karir
dede on Tujuan karir
Rika on Tujuan karir
Djoko triyono on Sulit mendapat pekerjaan
marco on E-mailku unik!
Efik on Memilih karir
noer hasanah on Berminat ke NGO Asing
ilah susilawati on Status dan jenjang karir
yusi bayu dwihayati on Berpindah Karir di Usia 32
dino eko supriyanto on Menyiapkan Business Plan
Gunawan Ardiyanto on 10 Biang Bangkrut UKM
Nahdu on Table Manner
krisnadi on 10 Biang Bangkrut UKM
rani on Table Manner
yuda_dhe on Table Manner
Putrawangsa on Memilih Jurusan S2?!
aira on Time Management
Emi Sugiarti on Sudahkah Anda Peduli?
fitria on Table Manner
Ardiningtiyas on Menuju 'Incompetency Level'
Sri Ratna Hadi on Dari Penjahit ke Penulis
monang halomoan on Program SDM tahunan
merlyn on Ayo, Kreatif!
Silvester Balubun on Table Manner
Avatara on Istimewanya Rasberi
vaniawinona on Table Manner
defianus on Tips Negoasiasi Gaji
Dewi Sulistiono on Meniti Sebatang Bambu
Rena on Tersadar…
Dendi on Ayo, Kreatif!
Denni on Menemukan Mentor