“Everyone thinks of changing the world, but no one thinks of changing himself.” ~Leo Tolstoy
Seringkali perubahan menjadi menakutkan karena kita berpikir secara ekstrem, dari hitam ke putih atau sebaliknya. Kita lupa bahwa ada jembatan yang perlu dilalui, kalaupun lompatan, kita bisa mengatur lompatan itu sesuai kebutuhan. Ini yang akhirnya membuat orang berputar sendiri, tanpa adanya hasil yang signifikan. Kondisi ini tidak akan lebih baik meskipun ada orang lain yang berusaha membantu, sampai Anda sendiri mau melakukan sesuatu yang riil.
Tidak sedikit yang menginginkan perubahan cepat dan sebisa mungkin tidak mengganggu kenyamanan saat ini. Pada titik ini, sebenarnya Anda masih belum memiliki komitmen untuk berubah, tetapi menginginkan orang lain untuk mengubah kondisi sesuai yang Anda inginkan.
Ini salah satu tantangan bagi konsultan karir atau career coach ketika menemui klien/coachee dengan pandangan demikian. Sebelum membahas lebih jauh, ada perbedaan utama peran konsultan dan coach. Konsultan karier akan bertindak sebagai ahli yang akan memberikan saran, sementara career coach akan bertindak sebagai partner untuk mendampingi proses pengembangan karier. Meskipun berbeda, tetapi keduanya tetap menenkankan satu hal: klien/coachee lah yang melakukan usaha perubahan.
Tantangan ini yang membuat proses pengembangan tidak bisa langsung dilakukan, karena perlunya pemahaman dan keyakinan diri klien tentang ini. Pertanyaan, “Bagaimana solusinya’ dari klien akan ‘dikembalikan’ ke klien itu sendiri. Lalu, apa peran career coach di sini? Peran career coach adalah membantu klien dalam proses, bukan memberikan solusi.
Sementara dalam proses konsultasi, konsultan akan memberikan beberapa saran yang sekali lagi, hanya klien lah yang mengetahui kesesuaiannya dengan kondisi di lapangan. Tidak jarang, saran yang diberikan pun dalam bentuk daftar pertanyaan. Tujuannya untuk membantu klien mengidentifikasi alternatif solusi maupun proses yang perlu dilalui.
Tembok penghalang
Ada banyak orang yang memiliki potensi berkembang, tetapi mereka sendirilah yang menghalanginya. Ada dua tembok internal yang saya lihat yakni keyakinan akan kemampuan diri sendiri yang terlalu tinggi dan sebaliknya-terlalu rendah. Untuk yang terlalu tinggi, mereka sulit untuk belajar dari orang lain karena takut terlihat salah. Sedangkan yang keyakinan yang terlalu rendah, juga menghalangi mereka untuk mengapresiasi diri sendiri dan mencoba cara baru.
Bukan tinggi atau rendah diri yang diperlakukan, tetapi kerendahatian untuk bisa terus melangkah. Diri yang tinggi hanya akan membatukan kepala, sementara diri yang rendah akan melemahkan.
Proses perubahan itu sendiri bersifat dinamis. Keinginan untuk berubah mungkin diawali dengan perasaan cemas, yang kemudian diikuti dengan semangat ketika telah memutuskan untuk berubah. Sampai di sini, tantangan belum selesai, karena masih ada kemungkinan muncul perasaan takut berhasil-tidaknya perubahan tersebut. Kita pun akan mempertanyakan kembali keinginan perubahan itu. Pada tahap ini, kita perlu kembali melihat kekuatan diri agar mampu memvisualisasikan tujuan/target/goal dari perubahan itu sendiri. Semakin jelas tujuan tervisualisasikan di kepala, semakin besar kemungkinan untuk kita bangkit dan terus melangkah. Kurang lebih, alur proses transisi tergambarkan dalam ilustrasi berikut:
Siapkan diri untuk melakukan perubahan, dan yang terpenting, izinkan diri Anda untuk berubah.