Tuesday, April 23, 2024
HomeMy StoryPengabdian Seorang Dokter Spesialis di Pelosok Kabupaten

Pengabdian Seorang Dokter Spesialis di Pelosok Kabupaten

Profil Karir: dr. Rifai Latief, Sp.D.

Profesi dokter adalah profesi yang membanggakan dan masih menjadi pilihan cita-cita banyak orang. Dalam survey yang dilakukan belum lama ini oleh konsultankarir.com, profesi dokter menempati urutan pertama dari profesi pilihan di tahun 2009. Demikian juga dalam polling yang dilakukan Metro TV yang ditayangkan dalam acara Metro 10 tanggal 2 Agustus 2009 bekerjasama dengan konsultankarir.com sebagai narasumber, profesi dokter menempati peringkat pertama untuk sepuluh profesi paling bergengsi diikuti profesi guru, pengusaha, pengacara, presiden, PNS, dosen, wiraswasta, tentara, dan terakhir hakim.

Karena itu profil karir kali ini menampilkan sosok seorang dokter, dr. Rifai Latief. Dokter yang ahli penyakit dalam ini, akrab dipanggil dr. Rifai, telah menjalani profesi ini lebih dari tigapuluh tahun dan yang menarik, ia memilih mengabdikan ilmunya di pelosok daerah, tepatnya di kabupaten Bulukumba, +/- 153 km atau kurang lebih 2.5 jam perjalanan dari Makasar. Pilihan ini sesuai dengan cita-citanya semenjak kecil dulu, yakni mengabdi sebagai dokter di kota kelahirannya. Walaupun tawaran kerja di kota Makassar dan Jakarta lumayan banyak, tetapi tawaran tersebut ditampiknya. Padahal jika dipikirkan, penghasilan yang tidak sedikit dan peluang sukses yang lebih besar jika ia berkarir di Jakarta. Namun itulah yang menarik dari dokter yang gemar membaca ini, idealismenya patut mendapat acungan jempol.

Keinginannya menjadi dokter pada waktu itu dilandasi pemikiran bahwa Bulukumba belum mempunyai dokter, padahal orang sakit tidak bisa memilih waktu dan tempat untuk sakit. Jadi dengan niat membantu kesembuhan orang-orang sakit di tanah kelahirannya, jadilah ia menjalani kuliah di fakultas kedokteran Universitas Hasanuddin di tahun 1967 dan lulus tahun 1977. Menurutnya dengan niat baik, Tuhan akan membantu seseorang meraih cita-cita dan mendapatkan yang terbaik. Mungkin niat baik itu juga yang menjadikannya seorang dokter, padahal seorang temannya yang jauh lebih pintar darinya tidak lulus saat sama-sama menjalani tes masuk fakultas kedokteran.

Sepuluh tahun ia menjalani kuliah kedokteran, di masa itu sepuluh tahun termasuk cepat karena rata-rata mahasiswa membutuhkan empatbelas tahun untuk lulus sebagai dokter. Berbeda dengan sekarang, pendidikan dokter dapat dijalani dalam waktu lima atau enam tahun, hal yang mustahil dilakukan saat itu.

Menurutnya untuk kuliah di fakultas kedokteran, bukan otak genius atau kecerdasan di atas rata-rata yang dibutuhkan, melainkan sifat rajin dan tekun karena buku dan materi yang harus dibaca dan dipelajari sangat banyak. Tekun belajar adalah modal utama untuk kuliah di kedokteran. Di masa ia kuliah dulu, belum ada fotokopi, jadi hadir kuliah di pagi hari dan duduk di depan mencatat kuliah merupakan salah satu trik yang dilakukannya untuk bisa lulus lebih cepat. Mungkin trik ini masih berlaku untuk diterapkan bagi semua mahasiswa untuk dapat lulus lebih cepat.

Setelah lulus ia menjalani penempatan pertamanya di Kalimantan Tengah, tepatnya di kabupaten Gunung Mas. Desa yang ditinggalinya butuh 2 hari perjalanan naik klotok, semacam perahu kayu karena tidak bisa melalui jalan darat. Kadang-kadang ia harus menginap di pinggir sungai, untuk menghindari arus sungai yang sedang liar. Tugas ini dijalaninya hingga tahun 1982. Lima tahun berada di kalimantan merupakan pengalaman yang penuh tantangan, termasuk tersasar di arus sungai dan hampir hanyut terbawa banjir, itulah salah satu suka duka yang dialami dokter yang selalu sabar dalam menangani pasiennya ini. Menurutnya inilah salah satu bentuk pengabdian seorang dokter yang harus dijalani.

Tahun 1982, dokter yang senang nonton film perang ini memutuskan untuk menjadi dokter spesialis penyakit dalam. Lulus dari spesialis dokter di tahun 1990, ia ditempatkan di Sulawesi Utara, tepatnya di RS Tondano, dan berpraktek selama 5 tahun. Keputusan menjadi dokter spesialis penyakit dalam berkaitan dengan penyakit yang diderita ayahnya. Di tahun 60an, di Bulukumba belum ada dokter penyakit dalam (diabetes) yang mampu mengobati penyakit ayahnya, sehingga sang Ayah harus dikirim ke Makassar untuk berobat. Perjalanan yang cukup lama ke Makasar menyebabkan penyakit sang Ayah bertambah parah dan mengakibatkan kakinya harus dipotong. Karena itu ia berharap dengan menjadi dokter spesialis penyakit dalam, dapat membantu orang-orang yang mengidap penyakit dalam dapat terhindar dari akibat yang lebih parah.

Tahun 1995, ia pindah ke Bulukumba untuk menjalani praktek dokter penyakit dalam di rumah sakit, waktu itu di Bulukumba belum ada dokter spesialis penyakit dalam. Hingga kini, ia sudah berpraktek sebagai dokter spesialis penyakit dalam di Rumah Sakit Umum Andi Sultan Daeng Raja, Bulukumba selama hampir lima belas tahun, pasiennya di RS.

Selain menjadi ketua kompartemen medik di rumah sakit, ia juga membuka praktek dokter di rumahnya. Klinik dr. Rifai tidak pernah sepi, selalu ramai dikunjungi pasien. Dokter yang pendiam, namun ramah ini mempunyai kiat khusus dalam menghadapi pasiennya, yakni selalu berupaya untuk menjawab semua pertanyaan pasien, ‘sedangkal’ apapun pertanyaan tersebut. Menurutnya inilah yang membedakan seorang dokter dengan dokter lainnya untuk disegani pasien. Pasien berhak tahu masalah kesehatan yang dihadapinya, karena itu dokter tidak boleh malas-malasan menjawab pertanyaan pasien, sebaliknya dokter wajib menjawab pertanyaan pasien. Ia selalu berupaya meluangkan waktu menjawab pertanyaan-pertanyaan pasiennya, walau sedang selelah apapun.

Menurutnya masyarakat sekarang semakin pintar dan teknologi juga berkembang pesat, masyarakat dapat mengetahui obat apa yang diresepkan dokter melalui internet dan menggunakan internet juga untuk mendapatkan support, seperti kejadian yang pernah dialami Prita. Jadi ke depan tantangan profesi ini akan semakin berat, namun disisi lain profesi dokter juga dilandasi kode etik yang wajib dijalankan seorang dokter.

Menghadapi pasien di pelosok tentunya berbeda dengan pasien di kota besar, ada kalanya teknik pemeriksaan dokter dianggap ‘menyiksa’, seperti pengalaman yang pernah dihadapi dokter yang berkumis tebal ini. Saat itu ia sedang memeriksa paru-paru pasien dengan mengetok-ngetok bagian punggung si pasien, anak si pasien protes kenapa sang ayah dipukul-pukul, namun dengan penjelasan akhirnya si anak mengerti juga. Menurutnya, itulah salah satu kendala yang dihadapi oleh dokter-dokter yang berpraktek di pelosok, karena itu penting sekali bagi dokter-dokter muda untuk memahami budaya dan kebiasaan orang-orang di wilayah dimana si dokter ditempatkan agar dapat diterima dengan mudah di lingkungan tersebut.

Selain itu, problem lain yang sering dihadapinya sebagai dokter adalah harapan pasien yang kadang tidak realistis untuk sembuh apabila sudah berobat ke dokter. Dokter juga manusia –meminjam istilah iklan yang sering muncul di TV– keinginan membantu pasien sembuh tentunya juga harapan seorang dokter, namun bagaimanapun kesembuhan itu bukan hanya dari keahlian dokter semata, namun banyak faktor-faktor lain juga yang berpengaruh, termasuk faktor pasien sendiri, keluarga, dan faktor Yang Di Atas. Apalagi jika penyakit yang dihadapi sudah dalam stadium akhir. Jadi disini, ia berupaya untuk memberikan penjelasan yang logis melalui pendekatan humanis.

Cita-cita dokter Rifai menolong orang-orang sakit di tanah kelahirannya telah tercapai, kini ia masih setia menjalani profesi dokter dengan sepenuh hati dan terus mengobati pasien-pasiennya. Profesi dokter memang tidak terpengaruh usia, sebaliknya semakin tinggi jam terbangnya, semakin diakui keahliannya.

Dokter yang sangat menjiwai profesinya ini memberikan masukan untuk para dokter muda agar menjalani profesi ini dengan sepenuh hati mengingat profesi dokter adalah profesi yang luhur, selalu meng-update ilmu karena perkembangan dunia kedokteran sangat dinamis sesuai perkembangan zaman, dan yang terakhir jangan meng-komersialisasikan pasien.

Karenanya penting untuk menjalani profesi ini dengan niat ibadah. Inilah filosofi hidup yang dipegangnya dalam menjalani profesi dokter sehingga membentuknya menjadi dokter yang penuh pengabdian. Ditambah dengan niat baik menolong orang dan keyakinan bahwa Tuhan akan menolong orang yang memiliki niat baik, maka segala tantangan berat sebagai seorang dokter dapat diatasi.

Sepertinya filosofi ini tidak hanya berlaku bagi profesi dokter semata, tetapi berlaku juga bagi profesi-profesi lainnya. Indonesia sangat membutuhkan pribadi-pribadi seperti dokter Rifai yang tidak hanya menerapkan ilmu yang dimilikinya dengan sepenuh hati, tetapi juga mau menyumbangkannya untuk masyarakat di pelosok negeri. (AA)

RELATED ARTICLES

1 COMMENT

  1. salut buat dr.rifai….. memang dia dokter yang penuh pengabdian dengan idelisme yang tinggi… moga aja selalu tetap eksis dan diberi kesehatan dimasa pensiunnya saat ini.
    resume ini bisa menjadi inspirasi saya dalam melaksanakan tugas sebagai tenaga kesehatan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments

konsultankarir on Pilihan, Memilih or Stuck
konsultankarir on Bingung S2
konsultankarir on Karir Untuk Lulusan Sosiologi
konsultankarir on Memilih Jurusan S2 yang Tepat
konsultankarir on Gagal tes psikotest
konsultankarir on Memilih Jurusan S2?!
konsultankarir on Karir Untuk Lulusan Sosiologi
konsultankarir on Sulit mendapatkan pekerjaan
konsultankarir on Wawancara dan Psikotest
konsultankarir on Kuis:Career Engager
konsultankarir on Memilih Jurusan S2?!
konsultankarir on Memilih Jurusan S2?!
konsultankarir on Memilih Jurusan S2?!
konsultankarir on Selalu Gagal dalam Interview
konsultankarir on Interview Magic
konsultankarir on Pindah Tempat Kerja
konsultankarir on Karir Untuk Lulusan Sosiologi
konsultankarir on Memilih Jurusan S2?!
konsultankarir on Memilih Jurusan S2?!
konsultankarir on Memilih Jurusan S2?!
konsultankarir on Karir Untuk Lulusan Sosiologi
konsultankarir on Psikotes Menggambar
konsultankarir on Memilih Jurusan S2 yang Tepat
konsultankarir on Memilih Jurusan S2 yang Tepat
konsultankarir on Bingung S2
konsultankarir on Karir Untuk Lulusan Sosiologi
konsultankarir on Memilih Jurusan S2?!
Angelina Tria Puspita Rini on Memilih Jurusan S2?!
Lisa on Bingung S2
Fiviiya on Psikotes Menggambar
Wendi Dinapis on Memilih Jurusan S2?!
hasenzah on Memilih Jurusan S2?!
yulida hikmah harahap on Karir Untuk Lulusan Sosiologi
Galuh Rekyan Andini on Memilih Jurusan S2?!
burhanuddin on Memilih Jurusan S2?!
Dian Camellyna on Kuis:Career Engager
ABDUL RAHMAN on Wawancara dan Psikotest
Melva Ronauli Pasaribu on S1 Teknik Informatika S2 Bagusnya Apa?
Faradillah Rachmadani M.Nur on Memilih Jurusan S2?!
Taufik Halim on Memulai Bisnis Fotografi
Edo on Bingung S2
konsultankarir on Profesi yang sesuai
konsultankarir on Bingung S2
yaya on Bingung S2
konsultankarir on Memilih karir
dewi on Pindah kerja
konsultankarir on Memilih Jurusan S2 yang Tepat
dewi on Pindah kerja
Tyas on ILKOM atau MTI
hary on ILKOM atau MTI
Kiki Widia Martha on Buku ‘My Passion, My Career’
jalil abdul aziz on Karir Untuk Lulusan Sosiologi
Nono Suharnowo on Bagaimana agar produktif?
syukri on Jujur atau tidak?
Nida shofiya on Bingung pilih fakultas
abdul madjid on Gagal tes psikotest
abdul madjid on Gagal tes psikotest
Aris on Tujuan karir
NURANI on Tujuan karir
dede on Tujuan karir
Rika on Tujuan karir
Djoko triyono on Sulit mendapat pekerjaan
marco on E-mailku unik!
Efik on Memilih karir
noer hasanah on Berminat ke NGO Asing
ilah susilawati on Status dan jenjang karir
yusi bayu dwihayati on Berpindah Karir di Usia 32
dino eko supriyanto on Menyiapkan Business Plan
Gunawan Ardiyanto on 10 Biang Bangkrut UKM
Nahdu on Table Manner
krisnadi on 10 Biang Bangkrut UKM
rani on Table Manner
yuda_dhe on Table Manner
Putrawangsa on Memilih Jurusan S2?!
aira on Time Management
Emi Sugiarti on Sudahkah Anda Peduli?
fitria on Table Manner
Ardiningtiyas on Menuju 'Incompetency Level'
Sri Ratna Hadi on Dari Penjahit ke Penulis
monang halomoan on Program SDM tahunan
merlyn on Ayo, Kreatif!
Silvester Balubun on Table Manner
Avatara on Istimewanya Rasberi
vaniawinona on Table Manner
defianus on Tips Negoasiasi Gaji
Dewi Sulistiono on Meniti Sebatang Bambu
Rena on Tersadar…
Dendi on Ayo, Kreatif!
Denni on Menemukan Mentor